Tuesday, May 31, 2005

PerGi...

"Maafkan aku mas, sebaiknya kita selesai sampai disini," ucapku sambil menundukkan kepala karena aku tidak berani untuk menatap mata Angga . Air mata mulai keluar dari mataku, aku tidak bisa lagi mengeluarkan kata-kata yang lebih halus untuk mengakhiri hubungan ini. Kalimat yang ku ucapkan begitu menusuk hati, dada ini serasa sesak, udara begitu hampa. Butuh keberanian yang sangat besar bagiku untuk mengambil keputusan seperti itu. Berpisah dengan orang yang sangat aku sayangi sangatlah berat. Aku tidak lagi mampu berpikir, semua sudah aku lakukan. "Mengapa?", hanya kata itu yang keluar dari mulutmu. Kau terdiam, kemudian kau meraih tanganku dan menggenggamnya. "Apakah tidak ada cara lain Ratih, untuk kita bersama lagi?". Aku mengela nafas, "Semuanya cepat atau lambat semuanya akan segera berakhir mas". "Aku tidak mau menjadi orang ketiga di dalam pernikahan mas. Kebahagiaan itu seharusnya menjadi milik kalian berdua. Akupun tidak mau berbagi dengan wanita lain jika aku menjadi dia". Kemudian kau hapuskan air mata yang mengalir di pipi dan mengecup keningku lama. "Kalau memang itu yang terbaik untukmu dan aku, baiklah tapi kita tetap bisa berhubungan as a friend kan??". "Iya mas, angguk ku lemah". Setelah itu mas Angga mengantarku kembali ke kantor, dan untuk yang terakhir kalinya ia mengecup keningku.
Pikiranku melayang kembali ke kejadian setahun yang lalu. Angga, itulah namamu ketika kita berkenalan pertama kali di toko buku. Setelah sebelumnya secara tidak sengaja kau menabrakku. Kemudian sebagai tanda permintaan maaf kau mengajakku untuk minum kopi di Starbuck. Di tempat itu kita berbincang-bincang dengan akrabnya selayaknya teman lama yang sudah lama tidak bertemu. Aku begitu terkesan dengan perbincangan itu, kau dapat membuat aku tertawa sampai terbahak-bahak. Sampai akhirnya kita bertukaran nomor telepon dan alamat email.
Beberapa hari kemudian aku menerima email dari mu yang isinya menanyakan kabar.
"Hai ini angga masih inget kan?? ituloh yang kemaren nabrak kamu di toko buku. Eh bukunya udah selesai dibaca? ceritanya menarik nggak??. Balas yah". Sambil tersenyum aku membalas emailmu "Hai angga apa kabar?? tentu saja aku masih ingat kamu. Gimana kerjaan lancar-lancar ajakan??". Akhirnya kamu menelpon aku, kita berbincang-bincang cukup lama di telepon. Seharian itu kita tidak henti-hentinya saling mengirimkan sms. Kemudian kita berjanji pada hari sabtu buat ketemuan di Cozy Cafe untuk makan malam. Sabtu itu aku ke salon untuk mempercantik diri, mulai dari creambath sampai meni-pedi, aku ingin terlihat cantik malam itu. Dengan menggunakan sedan bermerek mahal kau menjemputku. Kau tampak gagah dengan kemeja hitam garis-garis serta celana berwarna hitam. Sepanjang perjalanan menuju cafe kau menceritakan tentang kegiatanmu di kantor. Sambil sesekali kau menatapku, dan yang paling aku suka adalah ketika kau tersenyum, lesung pipitmu tergambar jelas diwajahmu membuat kau tampak lebih manis.
Malam itu adalah titik awal kedekatan kita berdua. Hari-hari selanjutnya sudah bisa ditebak. Aku semakin merasa membutuhkan mu dari sebelumnya. Kau bisa membuat aku nyaman untuk berada di dekatmu. Sms-sms indah yang kau kirimkan selalu ku baca berulang-ulang sampai-sampai aku hapal di kepala setiap kata, titik dan koma. Hari-hari indah itu kemudian berubah menjadi kepahitan ketika akhirnya sore itu di Cozy Cafe tempat kita sering menghabiskan waktu bersama, kau bercerita kepadaku bahwa kau sudah ada yang punya. "Maafkan aku Ratih, seharusnya aku tidak memberikan harapan kepadamu. Seharusnya aku tidak membuaimu dengan semua kata dan perlakuanku padamu". Sambil menatap matamu dalam-dalam aku berkata : " Siapa wanita itu?? ". Kau menjawab :"Namanya anita, kami sudah menikah selama 4 tahun tapi sampai saat ini belum juga diberi anak. Dia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sampai-sampai dia rela tinggal berjauhan denganku hanya untuk mengejar impiannya". "Lalu?". "Sampai akhirnya aku bertemu denganmu. Berada didekatmu membuat aku nyaman, kau memberikan apa yang selama ini tidak aku dapatkan. Mungkin terdengar alasan yang klise tapi itulah adanya. Kau begitu perhatian, sabar, mau mendengarkan semua ceritaku". Aku menghela nafas, sambil berfikir bahwa aku harus berpikiran jernih.
Sambil menekan gemuruh di dada aku bertanya padamu : "Terus, sekarang bagaimana mas ?". "Entah lah, sambil kau mengambil nafas dalam-dalam. Jujur aku tidak mau kehilangan kamu Ratih, tapi itu akan berkesan egois, aku mengambil hak yang bukan milikku. Kemudian kau meraih tanganku dan menggenggam dengan erat. Keegoisan telah membutakan mata dan membuatku harus menyembunyikan kenyataan yang ada", ujarmu lirih. Aku terdiam sambil berusaha menyembunyikan bulir-bulir air mata yang akan keluar. "Gosh, aku tidak dapat berpikir banyak saat ini mas. Bahkan aku tidak tau apakah aku harus marah, sedih atau teriak untuk menggambarkan bagaimana perasaanku padamu saat ini". "Maafkan aku ratih, aku lah yang salah. Aku tau aku tidak layak mendapatkan kata maaf darimu meskipun aku harus mencium telapak kakimu". Aku menarik tanganku dari genggaman Angga dan sambil berdiri aku berkata, "Aku pulang, sepertinya berlama-lama disini juga tidak akan menyelesaikan masalah. Mungkin sebaiknya kita berfikir masing-masing tentang apa yang telah terjadi. Mungkin aku pun salah karena dari awal tidak pernah menanyakan statusmu". Kau terdiam terpaku menatap kepergianku. Sepanjang perjalanan pulang aku tak henti-hentinya menangis. Bahkan supir taksi melirik melalui kaca spion sambil berkata, "Mbak tidak apa-apa kan?". Aku menjawab, "Tidak apa-apa kok pak" sambil berusaha menyembunyikan mataku yang sembab.
Sesampainya di rumah aku matikan telepon genggamku dan berpesan pada orang rumah kalau ada telepon dari Angga bilang saja aku sudah tidur. Kemudian aku bergegas ke kamar melempar tas dan mengambil handuk lalu menuju kamar mandi. Di bawah siraman air pancuran aku menangis lagi, menyesali tindakan cerobohku. Menyesali kenapa aku harus menyerahkan hatiku kepada Angga. Mengapa aku tidak berhati-hati untuk hal yang satu ini. Setelah itu aku langsung menuju tempat tidur, berusaha untuk memejamkan mata dan melupakan apa yang sudah terjadi. Tapi mataku tidak mau terpejam, sepanjang malam itu aku hanya bisa berguling di atas tempat tidur. Iseng aku menyalakan telepon genggamku. Tidak berapa lama beberapa pesan singkat langsung masuk dan semuanya dari Angga. Isinya sama..."Maafkan aku Ratih bila telah melukaimu, tapi rasa CINTA itulah yang telah membuat aku membohongimu. Aku tidak mau kehilanganmu Ratih....". Begitu selesai membaca aku langsung matikan telepon itu. Kalau kau mencintaiku mengapa kau membohongiku Angga. Mengapa kau datang dengan sekeranjang penuh dengan cinta, mengapa kau ketok hatiku dikala hatimu sendiri sudah terisi. Begitu banyak pertanyaan bermain-main di kepalaku, sampai akhirnya aku capek dan tertidur.
Keesokan paginya aku bangun dengan mata bengkak, karena aku menangis semalaman. ketika akan masuk ke kamar mandi, ibu memanggilku :"Tih ditungguin Angga tuh dari tadi pagi dia ada di depan, tidak mau ibu suruh masuk". Aku kaget mendengar perkataan ibu, "Ya udah bu Ratih mandi dulu, tolong bilang ke mas Angga tunggu sebentar". Selesai mandi aku langsung berpakaian dan membereskan semua perlengkapan yang akan aku bawa ke kantor. Setelah itu aku langsung berjalan ke teras untuk menjumpai Angga. "Mas....", kemudian perlahan kau angkat kepalamu. Angga begitu kusut, matanya cembung sepertinya dia tidak tidur semalaman. Kemudian aku duduk di sampingnya sambil menaruh secangkir teh di atas meja. "Diminum dulu mas tehnya", kemudian kau meminum teh sambil menghela nafas panjang seperti berusaha mengeluarkan beban yang ada. "Aku tidak tidur semalaman, aku berusaha menghubungimu melalui telepon genggam tapi telepon mu mati. Ibu juga semalam bilang kamu sudah tidur, ketika aku meneleponmu ke rumah". "Maaf mas, semalam memang aku tidak mau menerima telepon dari mas. Aku butuh waktu untuk berfikir, jujur saja ucapan mas kemarin sore benar-benar membuat aku terkejut. Semuanya diluar dugaanku. Kalau saja mas jujur dari awal mungkin semua ini tidak akan terjadi". Kemudian aku melihat jam yang ada ditanganku, waktu sudah menunjukkan pukul 06.00. "Mas sudah jam 6 sebaiknya kita berangkat sebelum terkena macet". Setelah itu kami berpamitan pada ibu. Selama perjalanan Angga lebih banyak diam, dia larut dengan pikirannya sendiri. Sesampainya di kantor dia hanya bilang, "Nanti siang aku jemput yah kita makan siang bareng". Aku hanya menganggukkan kepala tanda setuju.
Sesampainya di ruangan aku langsung menuju meja kerja Sita. "Eh kenapa lo?? tampang lo ancur gitu ?". "Iya aku tidak tidur semalaman Sit". " Hah??? Kenape ? Berantem lo ma si Angga?". "Lebih parah, aku mau bubaran aja sama dia". "Apeeee????, suara Sita begitu kerasnya sampai-sampai teman-teman yang ada di meja lain melihat ke arah kami. "Upss, maaf, ujar Sita. "Mas Angga sudah menikah Sit". "You what ????, jangan becanda deh Tih pagi-pagi giniiiii???". "Enggak Sit aku tidak bercanda, aku baru tau kemaren sore dari mas Angga sendiri". "Trus, sekarang elo ngajak bubaran??". "Sepertinya itu jalan yang terbaik buat kita berdua". "Elo udah mikirin matang-matang Tih??". "Sebenernya keputusan itu baru saja keluar dari kepalaku. Siang nanti mas Angga mengajakku untuk makan siang bareng, sepertinya itu saat yang tepat aku memberitahunya". "Elo gak nyesel Tih??, maksud gue apa enggak besok-besok aja lo kasih taunya. Kan kasian dia pasti stress berat, ibarat pepatah udah jatuh tertimpa tangga pula". "Cepat atau lambat semuanya akan berakhir Sit". "Ya udah kl menurut elo itu yang terbaik, good luck yah". "Makasih ya Sit".
Sepagian itu dikantor aku tidak bisa fokus pada kerjaan. Aku berfikir bahwa cepat atau lambat hubungan ini harus segera berakhir. Aku tidak mau dicap sebagai orang ketiga dalam rumah tangga mas Angga. Keputusanku sudah bulat apapun yang terjadi aku harus mengakhiri hubungan ini, walaupun nantinya kita berdua akan merasa sama-sama sakit. Pukul 12.30 mas Angga sudah menungguku di pelataran parkir. Dia tampak lebih segar dibandingkan tadi pagi, senyumnya yang selalu ku nanti-nanti menghiasi wajahnya. Akhirnya kami memutuskan untuk makan siang di cafe favorit kami Cozzy Cafe. Dan ketika memasuki tempat itu keputusanku semakin bulat, it's now or never.

NB: Jika memang payung itu tidak cukup untuk kita berdua, lalu mengapa kau datang menawarkan tempat untukku berteduh

0 Comments:

Post a Comment

<< Home